Perempuan Bercerita
Oleh: Iin Zaidah
Nyala api terlihat tak sabar untuk menjilat setiap senti dari molek tubuhku. Sebagaimana para lelaki jalang menatap tak sabar padaku. Kadang-kadang, mereka lebih pantas disebut predator paling berbahaya dan mematikan daripada disebut manusia. Kelakuannya yang suka mencari jajanan di luar rumah, sungguh menjijikkan.
Senja hari ini perlahan karam di tepi garis laut yang jauh. Mungkin di sana para leluhur manusia setia menunggu abuku. Setelah kuakhiri hidupku mungkin aku akan masuk ke dalam daftar nama kesekian yang dilupakan. Tapi memang sebaiknya seperti itu. Daripada dikenang sebagai pemuas lelaki hidung belang, atau sebagai tetangga yang tidak punya etiket dalam bersosial.
Kini biarlah jasadku bermukim di semesta. Merasakan kesendirian tanpa kawan. Tak apa, kukira aku sudah cukup begini. Yang kurasakan diriku mengawang-awang. Tidak tahu seperti apa bentuknya, tapi aku bahagia. Sebab aku telah lepas, bebas dari jasad yang mengurungku. Jasad kotor yang telah digriyangi puluhan atau bahkan ratusan tangan lelaki, yang bahkan namanya saja tak aku tahu.
Dalam peraturan lacur kelas atas kami dilarang bertanya nama pelanggan, karena dianggap tidak sopan. Sebagian besar kami tidak peduli selama yang datang adalah lelaki berkantong tebal. Tidak ada waktu untuk bertukar nama, apalagi basa-basi mengenalkan identitas satu sama lain. Sebisa mungkin transaksi diselesaikan dalam waktu yang cepat. Pelangganku menyelesaikan administrasi dan aku berikan jasa sesuai harapan mereka. Setelah itu, jika malam masih panjang aku masih bisa menerima beberapa tamu.
***
Kurasa hidupku sudah tidak ada bedanya dengan kawanan kelelawar. Waktu seratus delapan puluh derajat terbalik. Setiap malam aku habiskan waktu di tempat dan suasana yang sama. Dentum musik yang keras mengisi setiap sudut ruang. Kerlap-kerlip lampu disko yang memusingkan kepala dan bau alkohol yang menguar dari setiap mulut pengunjung.
Tempat orang berpesta dan melupakan carut-marut kehidupan keluarga, politik, ekonomi hingga asmara. Meski mungkin setelahnya, beban yang sama masih mengekor dan nyata ada. Tidak sedikitpun berkurang. Tidak setelah ia keluarkan beberapa lembar uang untuk meneguk beberapa botol minuman. Kesenangan tak ubahnya dunia. Dan kehidupan adalah asal-muasal masalah. Masalahnya, aku terlahir cantik.
Aku tidak terlalu peduli pada urusan negara, namun tak jarang aku menghabiskan waktu siang di depan televisi. Untuk sekadar melihat berita harian. Ada begitu banyak penayangan mengenai penemuan bayi dengan perut atau plasenta yang berjuntai, bahkan ada pula yang melilit di leher. Menyedihkan sekali, menyadari betapa bobroknya kemanusiaan. Kadang aku berpikir bahwa setiap perempuan adalah lacur dalam satu atau lain bentuk.
Dan dari sekian daftar yang berderet rapi di kepalaku, lacur kelas paling bawah adalah mereka yang melayani kekasihnya. Padahal masih dalam status pacar dan tidak lebih. Mereka melepas kehormatan dan harga dirinya dengan cuma-cuma. Atau mungkin karena iming-iming agar tidak diputus dan dicampakkan. Tanpa sadar bahwa itu adalah perpisahan yang tertunda. Aku sendiri memilih menjadi lacur yang bebas dan highclass. Tidak peduli bagaimana pandangan orang mengenai diriku. Kukira pekerjaan ini ada karena para lelaki.
"Kau tampak lebih cantik dalam gaun gelap ini" puji seorang pelanggan setiaku.
Aku tak sedikitpun tertarik melanjutkan omong kosong itu, jadi aku putuskan untuk menggodanya. Kurebahkan tubuhku ke kasur. Kubiarkan ujung gaunku tersingkap. Memperlihatkan bagian yang tertutup. Kutatap matanya jalang, sambil lalu menggigit jari dan membiarkan bibir yang merekah sedikit terbuka. "Apa kau merasa tergoda?"
"Malam ini kau sangat sempurna. Sungguh!" pujinya lagi. Membuatku sedikit melayang.
Langkahnya mendekat. Lalu ia duduk di sampingku yang rebahan dalam pose yang sama. "Sebenarnya aku tak ingin segera menyelesaikan transaksi ini," ucapnya dengan kepala tertunduk.
Dan diam-diam aku merasakan hal yang sama. Biar pun aku tidak kenal dirinya. Tidak tahu namanya. Tidak tahu keluarganya, namun aku telah menghabiskan beberapa malam dengannya. Kulitnya halus seperti bayi. Matanya indah, membuatku hanyut saat bercinta. Hidungnya yang mancung rasanya lebih mudah untuk menggapai ujung hidungku. Hanya dengan dia aku melibatkan perasaan saat bercinta.
"Tapi aku tahu, kau tak cukup kaya untuk membeli seluruh waktuku, bukan?" Pertanyaan yang kulontarkan setiap ada pelanggan yang berniat memilikiku.
Tak ada jawaban. Ia membiarkan pertanyaanku tergantung di udara. Setelah beberapa saat dalam diam, aku pusatkan perhatian pada gerak-geriknya yang gelisah. Berusaha menangkap apa yang ada dalam pikirannya. Namun kemudian ia bediri dan menarikku. Membawaku ke depan cermin, sehingga pada pantulannya aku melihat penyatuan antara aku dan dia. Dia memelukku dari belakang. Menenggelamkan kepalanya di pundakku. Dan mungkin saja ia larut pada aroma tubuhku.
"Can you dance with me?" Ini adalah ajakan pertama setelah aku hidup melacur.
***
"Aku akan menikah, "
*Kau akan menikah? Itu kabar bahagia."
Tapi dia sama sekali tidak menunjukkan raut bahagia. Dia hanya mengaduk-aduk makanannya. Dan sepertinya telah kehilangan selera untuk menyantapnya. "Ayo kita rayakan!" ajakku sambil mengelus punggung tangannya.
"Ayolah! Minimal kita menghabiskan malam ini dengan hal-hal yang mustahil dilupakan," rajukku.
Dan akhirnya dia mengikuti kemauanku. Barangkali aku tidak pernah sebergairah itu. Aku tidak bisa menikahinya namun di lain sisi aku tak ingin dilupakan olehnya. Jadi inilah satu-satunya cara untuk memilikinya; membuatnya tenggelam ke dasar bagian dalam diriku.
Sayang sekali, itu adalah kali terakhir aku menghabiskan waktu dengan dirinya. Diam-diam aku rindu. Aku mulai kehilangan gairah untuk melayani para pelanggan yang datang, dan bahkan mulai jarang mangkal. Sampai sebagian pelangganku menemuiku ke rumah.
"Aku lama tidak melihatmu" ucapnya setelah cukup lama membisu.
"Akhir-akhir ini aku sakit," kilahku.
"Kalau begitu aku pamit, lekaslah sembuh,"
Aku bersyukur, orang itu akhirnya pergi. Meninggalkanku bergelayut kembali dengan sepi yang sunyi. Berhari-hari aku memikirkan cara agar si dia bisa kembali, menemui diriku dan bercinta. Tapi apa yang bisa aku lakukan setelah aku menolaknya?
Setelah cukup lama mengurung diri di rumah aku pun memutuskan untuk kembali bekerja.
***
Mendadak pikiran gila ini muncul dalam pikiranku yang buntu. Oh, malangnya nasib lelaki di hadapanku ini. Tapi apa peduliku? Ibarat singa aku adalah singa betina yang terluka. Jadi tak apa, aku akan tetap melakukannya. Lagi pula tidak ada yang perlu aku risaukan setelah kematian.
"Apa kau pernah berpikir untuk mati?" tanyaku mencari tahu.
"Aku hidup untuk bersenang-senang, bukan untuk mati," jawabanya sarkastik.
"Ah, kau pasti sangat gemar hidup," lanjutku sedikit menyudutkan.
Hening.
"Katakan padaku, apa masih ada siksaan bagi calon jasad molek begini?"
"Apa kau merasa akan segera tiada?" tanyanya terkejut.
"Aku sedang merencanakannya," jawabku lugas.
"Sayang, jangan bermain-main dengan kematian," ujarnya sambil menarik diriku ke dalam pangkuannya.
"Tidak, tidak. Justru aku ingin diriku sendiri yang menghabisiku. Bukan kematian."
"Syuttt..."
"Aku ingin kita melakukannya dua belas jam penuh tanpa jeda."
Tanpa bersusah payah dia menyetujui bujukanku. Kemudian kami tenggelam dalam percintaan juga rencana-rencanaku.
***
Seorang pendeta memimpin para pelayat dalam prosesi upacara. Di antara kerumunan orang-orang, dia memejamkan mata dan hanyut dalam mantra. Mungkinkah dia merasa kehilangan? Entahlah, yang pasti aku akan segera moksa. Dan aku akan lepas dari segala ikatan dunia. Terberkatilah semua orang yang dikira telah mati. Kulihat jasadku tergelatak cadas. Sendiri, abai, dan pasrah.
Kuperhatikan tubuh yang membujur kaku. Rupanya dalam keadaan beku sekalipun, aku nampak cantik. Dengan bunga melati menutupi lubang hidung yang sempit. Pecahan kaca bertabur di atas mata, dan daun intaran menghiasi alis. Pantas saja sulit bagiku untuk lepas dari kutukan-kutukan ini. Semoga simbol-simbol itu tidak membangkitkan diriku kembali. Sebab sebentar lagi aku akan benar-benar moksa. Meninggalkan beban derita.
Matahari telah tenggelam sepenuhnya. Angin pantai meniup habis nyala api yang melalapku. Menyisakan abu kayu yang melebur dengan tulang-tulangku.