Senin, 18 Januari 2021

Ampas Malam Dalam Segelas Cokelat

Ampas Malam Dalam Segelas Cokelat


Aku Inggit. Hari ini aku akan membagikan tutorial patah hati yang elegan. Penasaran kan? Let's join me!


Firstly,  kamu harus tampakkan bahwa kamu baik-baik saja. Ya, misalkan nih kamu lagi keluar rumah dan melihat doi sedang nongkrong. Eh ternyata dia menyadari keberadaanmu yang kaya bidadari jatuh dari surga, dan dia melihat ke arahmu, maka kamu harus menunjukkan wajah terbaikmu. Berusahalah seceria mungkin. Aku sering melakukan ekting semacam ini di depan seseorang yang katakankanlah mantan. Tapi dia bukan mantan kekasihku, dia hanya mantan orang yang aku suka, yang tidak pernah tahu perasaanku.


Jadi ceritanya begini, dia itu sahabatku. Sebut saja Mas CKI, Cowok Keren Idaman. Kami telah melewati banyak waktu bersama. Saling timpal ejekan pun sudah biasa, yang tidak biasa itu adalah saat suatu ketika di sore hari aku melihat dirinya dalam sebentuk bayangan yang menarik diri dan menjauh dariku. Ketika itu aku sadar, aku telah kehilangan dirinya. Yah waktu dan jarak telah mengambil dirinya dariku. Padahal kudengar seorang penyair pernah bilang bahwa jarak tidak dapat memutus sebuah ikatan. Kadang-kadang aku berpikir, mungkin ikatan kami saja yang terlalu rapuh. 


Dan kamu tahu?, Ternyata perpisahan yang dilakukan seorang diri itu lebih menyakitkan dari ekspektasi apa pun. And I was do it.


Tapi tidak apa-apa, telah aku putuskan untuk mengenangnya tanpa rasa sakit. Toh, menurut siklus kita akan selalu bertemu dengan beberapa orang dalam satu waktu dan akan berpisah di waktu tertentu. Kemudian di masa depan kita bertemu lagi dengan orang baru, dan akhirnya pun begitu. Yah, sadar atau tidak perpisahan adalah rumah bagi sebuah pertemuan. 


Second, jangan ngeshare status-status galau. Kalau mau galau ya habiskan saja sendiri. Jangan berusaha membagikannya di story WhatsApp, Facebook, atau Instagram. Mending kamu pergi ke mall atau swalayan, beli snack yang bisa membuat moodmu lebih sedikit terkontrol. Yah kan walau bagaimana pun kamu juga butuh tenaga untuk galau dan mewek'-mewek sendirian di kamar. 


Kalau aku sih biasanya menuliskan surat tabula rasa. Tapi surat itu tidak pernah terkirim, karena sebenarnya aku hanya sedang berbicara dengan diriku sendiri perihal harapan, rindu, mimpi-mimpi yang berhubungan dengan perasaanku yang terpendam. Jadi Mas CKI tidak pernah tahu rahasiaku ini. Yang dia tahu adalah aku cewek absurd, baperan, dan terlalu dramatis. Terlalu asik menjalani peran sebagai orang lain.


Finally, give up! Move on! Jangan stuck dalam zona patah hati berkepanjangan. Jangan mau jadi Melea di real life. Jika kamu masih dilema antara bertahan atau tidak, padahal rasanya sudah toxic maka kamu harus segera membuat keputusan. Nih ya, lebih baik kamu salah dalam mengambil keputusan dari pada lebih lama berada dalam situasi yang membuatmu tidak nyaman.


"Inggit, angkatin  jemuran di belakang!" teriak Bunda dari luar.


"Terus Mas CKI sekarang dimana?" tulis seorang pengikutku di komentar.


"Oke guys, pertanyaannya aku jawab nanti, masih dipanggil Bunda tuh. Sudah dulu, byeee."


"Ngapain saja di kamar? Bunda panggil nggak nyaut," tegur Bunda saat aku melewati ruang tengah.


"Mana ada? Bundanya saja nggak dengar" kilahku sambil melipir keluar.


Ah mendung. Suasana menjadi sendu di bawah awan yang sepenuhnya kelabu. Sepertinya hujan akan segera turun. Di seberang, kulihat anak-anak berkejaran entah main apa atau mau menangkap apa. Tapi mereka tertawa sangat lepas. Membuatku sedikit iri, dan mendadak ingin minum cokelat hangat.


"Lho sekarang malah bengong," tegur Bunda yang melihat diriku duduk sambil lalu memangku pakaian.


"Kayanya Inggit lagi pengen minum cokelat hangat deh, Bun" jawabku tidak bersemangat.


"Persediaan cokelatnya habis, kalau mau kamu beli sendiri dulu ya. Bunda mau lipat pakaian," kemudian Bunda beranjak meninggalkan ruang tengah.


***


Aku merasa malam ini pikiranku sedang kacau. Di luar masih hujan. Napak tilas wajahnya diam-diam mengganggu. Aku suka kepikiran, kenapa tutorial yang aku buat untuk orang lain tidak pernah berlaku untuk diriku sendiri? 


"Bodo amat. Mending ngevlog." Jarum jam baru saja menunjuk angka sembilan. Artinya teman-teman onlineku belum tidur.


Hai guys, tadi siang tuh aku keluar buat beli cokelat dan kehujanan di tengah jalan. Berhubung tidak ada tempat untuk neduh aku mempercepat langkahku yang sebenarnya tidak bisa dikatakan cepat. Yah, aku tergesa-gesa gitu. Tidak terlalu memikirkan sekitar. Yang penting aku segara sampai ke rumah, soalnya hujan semakin deras. Kalau nggak cepat-cepat aku bisa basah kuyup.


Di sela-sela kepanikanku itu tiba-tiba aku merasa ada yang berusaha mengejarku. Beberapa kali terdengar manggil, cuma aku tidak menggubrisnya dan mempercepat langkah. "Inggit, ini aku Bagaskara!" teriaknya kemudian.


"Kara?" batinku, dan seketika aku membeku. Seolah-olah kepanikan demi kepanikan yang sebelumnya membadai luruh begitu saja.


"Terus apa yang terjadi setelahnya?" tanya Ani yang tahu-tahu merobos masuk tanpa salam ke kamar.


"Eh guys! Sudah dulu ya... ada Maklampir nih. Bye..!"


"Yah Inggit, padahal ceritanya belum selesai."


"Padahal kami kan penasaran."


"Oke tenang guys! Kita sambung lagi ceritanya nanti." Aku pun menyudahinya.


"Inggit, kamu kok gak cerita-cerita sih sama aku?" desak Ani yang sudah tidak sabar.


"Eh, kamu kok bisa sampai di sini dan tahu ceritaku?"


"Ya kebetulan saja aku tadi gabut, dan ada notif kamu lagi mengadakan siaran langsung. Ya sudah, aku ikuti."


"Hemmm, dasar tukang kepo. Emang di depan gak ada Bunda?


"Tuh Bunda" jawab Rani sambil menunjuk ke arah pintu yang tidak tertutup sempurna.


"Inggit, Rani, cokelatnya Bunda taro di meja," ucap Bunda memberitahu.


"Iya Bunda. Yuk!" ajakku pada Rani yang ngotot agar aku segera bercerita saja. Namun akhirnya anak mau dan ngekor di belakangku menuju ruang tengah.


Di hadapnku, Rani sibuk meniup-niup coklatnya. Aku justru merasa sedih memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Aku harus menghabiskannya bersama Rani. Ditemani segelas cokelat hangat buatan Bunda. Mengenang kenangan tentang Kara dengan orang lain. Aku tahu, setiap moment suatu waktu akan berubah menjadi kenangan, namun bukan akhir seperti ini yang aku mau. Aku ingin yang mengenang kenangan kita ya kita, Ra. Bukan dengan orang lain. Namun bagaimana harapan itu akan mendarat dengan selamat, sedang perasaanmu ratusan kilometer dariku. Begitu jauh. Begitu rumit. 


"Mmm, dia masih tinggal di sekitarku. Cuma segalanya sudah berubah," paparku menjawab keingintahuan Rani-Rani yang hidup dalam hidupku.


 Tuh kan, jadi mellow.


*Iin Zaidah


Related Posts

Newest Post
Add Comments


EmoticonEmoticon